Selasa, 20 November 2012

Maafkan Aku Sobat-Puisi

Aku yang egois
Aku yang serakah
Asal ngomong
Tak perdulikan perasaanmu
Aku sadar
Terlalu banyak salahku padamu
Sobatku
Kini aku mohon sesuatu padamu
Sesuatu yang jarang
Bahkan tak pernah aku memintanya
Aku mohon maaf
Atas semua kesalahanku padamu
Dan aku berharap
Setelah hari ini
Tiada benci diantara kita
Tiada lagi salah yang ku perbuat
Dan kita makin bersahabat

Jumat, 02 November 2012

maafkan keegoisanku


Pagi yang cerah untuk memulai aktifitas. Tapi, semuannya berbeda dengan keadaanku sekarang ini. Aku hanya bisa berbaring di ranjang. Meraung-raung menahan sakit. Sakit yang terus menghantamku.
Aku tak kuat lagi menahan rasa sakit ini. Sebuah benjolan di bawah daguku yang sangat menyiksaku. Aku hanya berharap, rasa sakit ini segera hilang. Nyeri yang luar biasa tidak hanya aku rasakan di benjolan itu. Tapi, hampir di seluruh syaraf di sekitar leher terasa nyeri.
Ini bukan kali pertama aku merasakan hal ini. Sudah berkali-kali benjolan ini membuatku terkapar menahan sakit. Sampai-sampai, aku pernah berdo’a.
“Ya Allah, aku tak kuat lagi dengan semua yang aku rasakan. Jika memang kematian adalah yang terbaik bagiku, maka segera cabut nyawaku ini. Dan jika memang masih ada obat untuk penyakitku ini, maka segera pertemukan aku dengan obat itu. Aku tak ingin lagi merasakan sakit yang menyiksa ini.”
Itulah do’a yang selalu aku panjatkan setiap rasa sakit ini datang padaku. Aku selalu merasa putus asa dengan keadaanku ini. jika aku mengeluh tentang penyakitku, orang tuaku selelu berkata.
“Jangan pernah mengeuluh. Karena mengeluh itu nggak akan mengurangi rasa sakitmu.” Begitulah nasihat mereka. Aku memang menyadari itu. Tapi, aku capek merasakan sakit karena penyakit ini.
“Dyah, kamu sekolah apa tidak?” terdengar suara ibuku yang mulai memasuki kamarku.
“Sepertinya tidak Bu.” Ucapku lirih.
“Kenapa? Kambuh lagi sakitnnya?” Tanya ibuku setelah melihat keadaanku.
Aku hanya bisa menjawab dengan sebuah anggukkan kecil. Setelah itu, aku melihat ibuku meninggalkanku sendiri di kamar. Dan setelah itu, aku menutup mataku. Mencoba untuk kembali tidur dan melupakan rasa sakit ini.
****
Esoknya, aku merasa sudah jauh lebih baik dari kemarin. Aku berangkat ke sekolah ditemani dengan sepeda angin kesayanganku. Seperti biasa, aku berangkat dengan Atun dan Fitri. Teman SDku yang satu SMP denganku.
Setelah sampai di sekolah, kami langsung menuju ke parkiran. Dan disanalah kami langsung berpencar munuju kelas kami masing-masing. Aku di VIII C, Atun VIII E, dan Fitri VIII F. kelas Atun dan Fitri bersebelahan.
Terlihat keramaian dari dalam kelasku. Kelihatannya teman-temanku sedang sibuk mengerjakan tugas. Utunglah kemarin tugasku sudah aku selesaikan. Jadi, aku bisa sedikit lebih tenang.
“Hey, Dyah. Sakit apa kamu kemarin kok nggak masuk?” Ucap Angelo saat aku memasuki kelas.
“Eh kamu Ngel. Biasa, sakitku kambuh.” Ucapku lirih. Semua teman sekelasku sudah mengetahui tentang penyakitku ini. Bagaimana tidak tahu kalau benjolan ini lumayan besar. Dan lagi pula, benjolan ini dapat dilihat dengan jelas karena terletak dibawah dagu.
“Tugas fisikamu sudah selesai.” Lanjut Angelo.
Sudah bisa aku tebak jika temanku bertanya seperti ini padaku. Ujung-ujungnya juga mau pinjam tugas. Biasa kalau ada tugas yang belum terselesaikan, semua teman kelasku selalu menyelesaikannya di sekolah.
“Sudah. Memangnya kenapa?” kataku dengan polosnnya.
“Biasa, aku belum selesai tugasnnya. Aku pinjam punya kamu ya?” Jawab Angelo dengan santainnya.
“Ini, kalau sudah selesai segera kembalikan padaku.” Ucapku seraya memberikan buku tugasku.
“Ok. Sip. Selesai aku salin, akan aku kembalikan lagi.” Jawab Angelo yang langsung meninggalkanku.
Setelah beberapa detik berdiri mematung, aku berjalan menuju tempat dudukku. Aku pandangi keadaan sekelilingku. Hampir semua temanku mengerjakan tugas fisika. Ya kecuali beberapa anak yang rajin.
Kalau aku, tidak seratus persen dibilang rajin. Terkadang, ada juga tugas yang tidak aku selesaikan. Lebih baik menyontek milik teman dari pada kebingungan tidak bisa menyelesaikan tugas. Itulah pikiranku jika kesulitan mengerjakan tugas.
“Dyah, kamu jadi ikut nggak?” Ucap Deva kepadaku.
“Ikut apa?” Tanyaku sambil mencoba mengingat-ingat.
“Olimpiade itu? Kamu ikut nggak?” Balas Deva.
Akhirnya aku ingat. Olimpiade fisika yang terbilang tidak formal. Olimpiade ini diadakan oleh sebuah bimbel yang bekerjasama dengan UNAIR. Olimpiade beregu yang dilakukan memalui dua tahapan penyisihan.
“Oh. Olimpiade itu. Insyaallah aku ikut. Tapi, aku nanti aku pasangan sama siapa? Olimpiade itu beregu. Dan setiap regu itu 2 orang.” Kataku.
“Aku sudah sama Khusnah anak kelas VIII G. Tanya saja Kadek, katannya dia juga pengen ikut. Itu anaknya baru datang.” Ucap Deva ketika Kadek mulai memasuki kelas.
“Eh Dek. Kesini sebentar.” Kataku dengan sedikit berteriak.
“Ada apa? Mau minta tanda tanganku ya? Sorry banget, aku lagi nggak melayani permintaan tanda tangan.” Jawab Kadek dengan nada bercanda.
“Ye, pede banget. Siapa juga yang mau minta tanda tangan.” Jawabku.
“Kamu jadi ikut olimpiade fisika itu kan?” Tanya Deva ketika Kadek meletakkan tasnnya.
“Aku sih pengen ikut tapi nggak ada pasangannya.” Jawab Kadek lirih.
“Wah kebetulan. Sama aku aja. Aku juga pengen ikut. Lumayanlah nambah pengalaman. Gimana, kamu mau nggak?” Tanyaku.
“No problem. Apa saja persyaratannya?” Ucap Kadek.
“Nanti saja kita tanya pada Bu Titik, hari ini kan ada jam fisika.” Jawab Deva. “Oh iya, denger-denger yang ikut olimpiade itu akan mendapat bimbingan untuk bekal dalam mengaerjakan soal.”
“Wah tambah asyik tuh. Dapet materi baru.” Jawab Kadek saat bel masuk berbunyi.
Terlihat teman-temanku mulai menduduki bangku masing-masing. Saat Bu Rina guru Bahasa Inggris kami masuk, semua terdiam dan menghentikan aktifitasnnya. Do’a bersama yang dipimpin oleh ketua kelas mulai terdengar.
****
Seperti kata Deva, siswa yang mengikuti olimpiade fisika mendapatkan bekal materi dari beberapa guru fisika kami. Disini kami mendapatkan materi-materi baru yang belum kami dapatkan. Tambahan materi ini dilakukan setiap hari jum’at dan sabtu sejak 2 minggu sebelum olimpiade dimulai. Jum’at ini Kadek tidak mengikuti bimbingan.
“Dyah, kita ke kelas dulu ya? Melanjutkan menghias mading. Lihat anak kelas lain ada yang lembur.” Kata Deva ketika bimbingan usai.
Dalam waktu dekat, sekolahku mengadakan lomba kebersihan antar kelas. Semua kelas berlomba-lomba untuk menghias kelasnnya seindah mungkin. Bahkan, ada beberapa kelas yang mendekorasi kelasnya sampai larut.
“Ok. Tadi aku lihat memang belum terselesaikan.” Jawabku setelah kami selesai membereskan buku. “Tapi, anak-anak kan sudah pulang semua. Dan itu berarti kelas kita sudah dikunci.” Tambahku.
“Oh iya. Aku lupa. Lewat cendela saja. Biasannya anak-anak cowokkan suka masuk kelas lewat cendela. Lagian, ada batu besar yang dapat membantu kita naik dengan mudah.”
“Ok lah.” Jawabku lirih.
Dan setelah itu, kami mulai berjalan menuju kelas. Cendela yang dimaksud oleh Deva adalah cendela belakang kelas kami. Benar apa yang dikatakan Deva. Ada sebuah batu besar tepat di bawah cendela yang membuat kami dengan mudah memanjat masuk ke dalam kelas. Melewati cendela tentunya.
Ini adalah kali pertama aku melakukan hal seperti ini. Aku dan Deva seperti dua orang pencuri yang sedang melakukan aksinya. Memasuki sebuah ruangan melewati cendela yang lumayan tinggi.
****
Hari ini adalah hari dimana aku mengikuti penyisihan pertama dalam olimpiade. Ya kalau aku bisa aku akan mengikuti babak selanjutnya yang akan dilakukan dua minggu lagi di UNAIR. Tapi, aku tidak berharap besar akan hal itu. Aku, Deva, Kadek dan beberapa temanku yang mengikuti olimpiade ini menganggap mengikuti sebuah lomba seperti ini hanya untuk menambah pengalaman baru. Dan karenanya kami tidak berharap untuk bisa menang.
Soal-soal yang diberikan sangat menguras otak. Bagaimana tidak, kami yang masih kelas VIII mengikuti olimpiade seperti ini. Dijejali dengan soal-soal yang materinya belum kami ketahui. Hanya garis besar yang diberikan pada saat bimbingan yang menjadi modal utama kami mengerjakan soal-soal ini.
Seminggu setelah pelaksanaan olimpiade itu, hasil dari penyihan pertama diumumkan. Penyisihan yang pertama ini hanya lingkup Mojokerto. Dan dari Mojokerto diambil 7 regu. Aku tidak terlalu berharap besar namaku dan Kadek ada dalam 7 regu itu.
Namun, aku kaget setengah mati. Aku kaget saat tau bahwa dari ketujuh grup itu namaku dan Kadek masuk dalam daftar. Aku tak menyangka keisengan kami dalam menjawab soal bisa membawa kami kesemifinal. Kami pun harus mengikuti bimbingan kembali bersama satu tim lagi dari kakak kelas.
****
Sabtu ini aku tidak mengikuti bimbel. Padahal, besok kami sudah mengikuti semifinal olimpiade fisika. Hari ini, orang tuaku mengajakku memeriksakan penyakitku kepada seorang mantri yang tinggal tidak jauh dari rumahku.
Bebrapa waktu yang lalu, orang tuaku sudah memeriksakan penyakitku ini ke laboratorium di sebuah rumah sakit di Mojosari. Dan hasilnya benjolan yang ada di daguku ini adalah sebuah tumor. Dan untunglah ini tumor jinak.
Dokter memutuskan untuk melakukan operasi pada tumorku ini. Namun, aku tak tau pasti kenapa aku masih harus menunggu lama untuk operasi ini. Seorang suster yang menangani berkas-berkasku berkata bahwa aku masih menunggu kamar inap karena masih bergantian dan penuh. Karena tidak tega melihatku terus menderita, orang tuaku memutuskan menarik semua berkas-berkas rekam medisku dari rumah sakit itu.
Dan pada hari ini, ayahku mengajak aku menemui seorang mantri katanya punya hubungan dekat dengan rumah sakit yang hanya menangani masalah operasi. Sebuah rumah sakit swasta yang ada di Surabaya.
Saat aku dan ayahku memasuki ruangan mantri itu, ayahku memberikan beberapa berkas dan rekam medisku. Setelah melihat berkas-berkas itu, mantra itu langsung menelfon seseorang. Kelihatannya membicarakan tentang operasiku dengan seorang dokter.
“Sekarang juga anak anda akan kita bawa ke Surabaya. Malam ini operasinya akan dijalankan.” Kata mantra itu kepada ayahku. “Dan sekarang, anda bisa kembali pulang untuk menyiapkan hal-hal yang perlu dibawa nanti.” Lanjut mantri itu.
Dan setelah mendengar hal itu, kami langsung memohon diri untuk pulang. Sesampainya di rumah, ayahku memberitaulkan berita bagus ini kepada ibuku. Setelah persiapan usai, kami kembali ke rumah mantri itu karena kami akan diantar oleh sopir pribadi si mantra.
Saat akan berangkat ke rumah mantra itu, aku melihat beberapa tetanggaku berkumpul di jalan di depan rumahku. Mereka melepas kepergian kami dengan do’a supaya aku bisa lancar dalam menjalani operasi ini.
****
 Perjalanan terasa sangat panjang. Berangkat dari Mojokerto sekitar pukul 18.00 dan tiba di rumah sakit sekitar pukul 20.15. Surabaya Medical Service. Itulah nama rumah sakitnya. Atau bisa lebih singkatnya rumah sakit SMS.
Setelah menunggu beberapa lama untuk mengurusi adminitrasi, barulah kami mendapat kabar bahwa operasiku tidak bisa dilakukan malam ini. “Ruang operasi masih penuh.” Begitulah kata sopir yang mengantar kami tadi.
Aku pun dibawa kesebuah kamar rawat inap di lantai dua. Setelah mengamati, aku sadar bangunan rumah sakit ini seperti rumah tua zaman dulu. Mulai dari kusennya, arsitekturnya, juga tanggga menuju lantai dua. Semua menggambarkan bahwa rumah sakit ini dulunya adalah sebuah bangunan rumah besar.
Operasiku diganti jadwal menjadi besok pagi jam 8. Aku pun diperbolehkan makan setelah berpuasa sejak sepulang sekolah hingga sampai di rumah sakit. Karena operasiku tidak jadi malam ini, aku pun bisa makan dan melanjutkan puasa untuk operasi besok.
****
Suasana pagi mulai terasa. Sinar matahari mulai masuk kedalam ruangan. Menembus tirai yang menutupi cendela kaca di dalam kamar ini. Aku membuka mataku lebar-lebar. Hatiku berdebar-debar menunggu jam 8.
Sejenak aku teringat akan Kadek. Bagaimana dia sekarang. Hari ini adalah hari semifinal olimpiade itu. Dan dia? Aku membiarkan dia berjuang sendirian untuk menghadapi soal-soal yang ganas itu sendirian.
Aku sempat berfikir, apa aku salah memilih menjalankan operasi ketimbang berjuang dengan Kadek menghadapi soal-soal ganas itu. Apa aku egois, mendahulukan kepentinganku yang mungkin bisa ditunda.
Belakangan setelah aku menjalani operasi, orang tuaku memarahiku karena hal ini. “Mengapa kamu nggak bilang kalau kamu ada lomba yang bersamaan dengan hari opersimu. Operasimu itu kan bisa dintunda untuk beberapa hari.” Begitulah omelan dari keluargaku.
Ya, aku memang tidak cerita kepada keluargaku tentang aku yang mengikuti sebuah olimpiade tidak formal. Aku ini bukan tipe orang yang suka menceritakan apa yang sedang aku hadapi. Bahkan kepada keluargaku sendiri. Aku lebih suka menghadapi semua itu sendirian.
Aku selau memisahkan antara masalah keluarga dan masalahku di sekolah. Urusan rumah harus aku selesaikan di rumah. Urusan sekolah harus aku selesaikan di sekolah. Begitulah pemikiranku. Jadi, ketika ada masalah disekolah aku lebih suka memendamnya dan tidak menceritakan kepada orang tuaku.
Tidak seperti beberapa temanku. Mereka selalu menceritakan kejadian yang mereka alami di sekolah kepada orang tuannya. Masalah dengan teman, masalah ulangan, masalah guru dan masalah-masalah lainnya.
****
Jam menunjukkan pukul 07.45 ketika seorang perawat memasuki ruangan ini.
“Nona Dyah Pitaloka, sekarang sudah waktunya bagi anda untuk menuju ruang operasi.” Begitulah kata perawat itu. Aku berjalan mengikuti perawat itu.
Aku mulai memasuki suatu ruangan. Bau-bau obat-obatan dapat aku cium dengan mudah. Semua hal-hal yang berbau medis ada di sini. Setalah berganti pakaian, aku diajak masuk ke sebuah ruangan yang aku tau itu adalah ruang operasi.
Terlihat sebuah lampu besar. Ranjang yang ramping. Bebrapa gunting dan alat-alat operasi lainnya.
Suster itu menyuruhku untuk tidur diranjang itu. Aku mulai mendengar percakapan seorang dokter dan perawat. Mereka membicarakan takaran obat bius yang akan diberikan kepadaku.
Seorang perawat menyuntikkannya lewat selang infus yang ada di tangan sebelah kiriku. Beberapa saat setelah obat itu disuntikkan, aku merasa mengantuk. Aku merasakan kelopak mataku yang semakin lama semakin berat. Aku mencoba melawan rasa kantuk ini. Namun hanya sia-sia belaka. Dan setalah itu, aku sadari semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi suara yang terdengar. Seperti hanya aku sendiri yang ada di ruangan ini.
Semuanya gelap, sampai seorang perawat mulai menggoyang-goyangkan tubuhku. Perlahan namun pasti. Aku mencoba menggerakkan kelopak mataku. Remang-remang aku mulai melihat cahaya. Remang-remang aku mulai melihat seorang perawat membangunkanku.
Namun, aku masih merasa ngantuk. Jadi aku pejamkan lagi mataku. Kemudian aku teringat. Beberapa saat yang lalu aku berada di ruang operasi. Dan sekarang, ruangannya terlihat berbeda. Apa operasiku sudah selesai?
****
Minggu, 03 Desember 2009. Hari yang tidak akan aku lupakan. Pada hari itu aku mulai bisa bernapas lega. Lega karena operasiku berjalan dengan lancer. Akhirnya kini aku bebas. Bebas dari penderitaan selama empat tahun lebih. Bebas dari parasit di daguku. Aku bisa hidup bebas tanpa ada tumor lagi. Dan semoga, ini adalah operasi tumor pertama dan terakhirku.
Aku juga akan mengingat. Hari ini juga aku telah meninggalkan seorang temanku. Meninggalkan dia berjuang sendirian mengahadapi soal olimpiade yang menguras otak itu. Aku ini memang egois. Padahal operasiku bisa ditunda.
Ya walaupun jika aku menemaninya dan kami tetap saja tidak lolos. Itu terdengar lebih baik. Dari pada aku tidak menemaninya dan kami tidak lolos. Belakangan aku tau dari Kadek bahwa yang lolos dari babak penyisihan itu memang anak yang pandai-pandai.
Kadek, maafkan keegoisanku ini……