Pagi yang cerah untuk memulai aktifitas. Tapi, semuannya
berbeda dengan keadaanku sekarang ini. Aku hanya bisa berbaring di
ranjang. Meraung-raung menahan sakit. Sakit yang terus menghantamku.
Aku
tak kuat lagi menahan rasa sakit ini. Sebuah benjolan di bawah daguku
yang sangat menyiksaku. Aku hanya berharap, rasa sakit ini segera
hilang. Nyeri yang luar biasa tidak hanya aku rasakan di benjolan itu.
Tapi, hampir di seluruh syaraf di sekitar leher terasa nyeri.
Ini
bukan kali pertama aku merasakan hal ini. Sudah berkali-kali benjolan
ini membuatku terkapar menahan sakit. Sampai-sampai, aku pernah berdo’a.
“Ya
Allah, aku tak kuat lagi dengan semua yang aku rasakan. Jika memang
kematian adalah yang terbaik bagiku, maka segera cabut nyawaku ini. Dan
jika memang masih ada obat untuk penyakitku ini, maka segera pertemukan
aku dengan obat itu. Aku tak ingin lagi merasakan sakit yang menyiksa
ini.”
Itulah do’a yang selalu aku panjatkan setiap rasa sakit ini
datang padaku. Aku selalu merasa putus asa dengan keadaanku ini. jika
aku mengeluh tentang penyakitku, orang tuaku selelu berkata.
“Jangan
pernah mengeuluh. Karena mengeluh itu nggak akan mengurangi rasa
sakitmu.” Begitulah nasihat mereka. Aku memang menyadari itu. Tapi, aku
capek merasakan sakit karena penyakit ini.
“Dyah, kamu sekolah apa tidak?” terdengar suara ibuku yang mulai memasuki kamarku.
“Sepertinya tidak Bu.” Ucapku lirih.
“Kenapa? Kambuh lagi sakitnnya?” Tanya ibuku setelah melihat keadaanku.
Aku
hanya bisa menjawab dengan sebuah anggukkan kecil. Setelah itu, aku
melihat ibuku meninggalkanku sendiri di kamar. Dan setelah itu, aku
menutup mataku. Mencoba untuk kembali tidur dan melupakan rasa sakit
ini.
****
Esoknya, aku merasa sudah jauh lebih baik dari
kemarin. Aku berangkat ke sekolah ditemani dengan sepeda angin
kesayanganku. Seperti biasa, aku berangkat dengan Atun dan Fitri. Teman
SDku yang satu SMP denganku.
Setelah sampai di sekolah, kami
langsung menuju ke parkiran. Dan disanalah kami langsung berpencar
munuju kelas kami masing-masing. Aku di VIII C, Atun VIII E, dan Fitri
VIII F. kelas Atun dan Fitri bersebelahan.
Terlihat keramaian dari
dalam kelasku. Kelihatannya teman-temanku sedang sibuk mengerjakan
tugas. Utunglah kemarin tugasku sudah aku selesaikan. Jadi, aku bisa
sedikit lebih tenang.
“Hey, Dyah. Sakit apa kamu kemarin kok nggak masuk?” Ucap Angelo saat aku memasuki kelas.
“Eh
kamu Ngel. Biasa, sakitku kambuh.” Ucapku lirih. Semua teman sekelasku
sudah mengetahui tentang penyakitku ini. Bagaimana tidak tahu kalau
benjolan ini lumayan besar. Dan lagi pula, benjolan ini dapat dilihat
dengan jelas karena terletak dibawah dagu.
“Tugas fisikamu sudah selesai.” Lanjut Angelo.
Sudah
bisa aku tebak jika temanku bertanya seperti ini padaku. Ujung-ujungnya
juga mau pinjam tugas. Biasa kalau ada tugas yang belum terselesaikan,
semua teman kelasku selalu menyelesaikannya di sekolah.
“Sudah. Memangnya kenapa?” kataku dengan polosnnya.
“Biasa, aku belum selesai tugasnnya. Aku pinjam punya kamu ya?” Jawab Angelo dengan santainnya.
“Ini, kalau sudah selesai segera kembalikan padaku.” Ucapku seraya memberikan buku tugasku.
“Ok. Sip. Selesai aku salin, akan aku kembalikan lagi.” Jawab Angelo yang langsung meninggalkanku.
Setelah
beberapa detik berdiri mematung, aku berjalan menuju tempat dudukku.
Aku pandangi keadaan sekelilingku. Hampir semua temanku mengerjakan
tugas fisika. Ya kecuali beberapa anak yang rajin.
Kalau aku,
tidak seratus persen dibilang rajin. Terkadang, ada juga tugas yang
tidak aku selesaikan. Lebih baik menyontek milik teman dari pada
kebingungan tidak bisa menyelesaikan tugas. Itulah pikiranku jika
kesulitan mengerjakan tugas.
“Dyah, kamu jadi ikut nggak?” Ucap Deva kepadaku.
“Ikut apa?” Tanyaku sambil mencoba mengingat-ingat.
“Olimpiade itu? Kamu ikut nggak?” Balas Deva.
Akhirnya
aku ingat. Olimpiade fisika yang terbilang tidak formal. Olimpiade ini
diadakan oleh sebuah bimbel yang bekerjasama dengan UNAIR. Olimpiade
beregu yang dilakukan memalui dua tahapan penyisihan.
“Oh.
Olimpiade itu. Insyaallah aku ikut. Tapi, aku nanti aku pasangan sama
siapa? Olimpiade itu beregu. Dan setiap regu itu 2 orang.” Kataku.
“Aku
sudah sama Khusnah anak kelas VIII G. Tanya saja Kadek, katannya dia
juga pengen ikut. Itu anaknya baru datang.” Ucap Deva ketika Kadek mulai
memasuki kelas.
“Eh Dek. Kesini sebentar.” Kataku dengan sedikit berteriak.
“Ada
apa? Mau minta tanda tanganku ya? Sorry banget, aku lagi nggak melayani
permintaan tanda tangan.” Jawab Kadek dengan nada bercanda.
“Ye, pede banget. Siapa juga yang mau minta tanda tangan.” Jawabku.
“Kamu jadi ikut olimpiade fisika itu kan?” Tanya Deva ketika Kadek meletakkan tasnnya.
“Aku sih pengen ikut tapi nggak ada pasangannya.” Jawab Kadek lirih.
“Wah kebetulan. Sama aku aja. Aku juga pengen ikut. Lumayanlah nambah pengalaman. Gimana, kamu mau nggak?” Tanyaku.
“No problem. Apa saja persyaratannya?” Ucap Kadek.
“Nanti
saja kita tanya pada Bu Titik, hari ini kan ada jam fisika.” Jawab
Deva. “Oh iya, denger-denger yang ikut olimpiade itu akan mendapat
bimbingan untuk bekal dalam mengaerjakan soal.”
“Wah tambah asyik tuh. Dapet materi baru.” Jawab Kadek saat bel masuk berbunyi.
Terlihat
teman-temanku mulai menduduki bangku masing-masing. Saat Bu Rina guru
Bahasa Inggris kami masuk, semua terdiam dan menghentikan aktifitasnnya.
Do’a bersama yang dipimpin oleh ketua kelas mulai terdengar.
****
Seperti
kata Deva, siswa yang mengikuti olimpiade fisika mendapatkan bekal
materi dari beberapa guru fisika kami. Disini kami mendapatkan
materi-materi baru yang belum kami dapatkan. Tambahan materi ini
dilakukan setiap hari jum’at dan sabtu sejak 2 minggu sebelum olimpiade
dimulai. Jum’at ini Kadek tidak mengikuti bimbingan.
“Dyah, kita
ke kelas dulu ya? Melanjutkan menghias mading. Lihat anak kelas lain ada
yang lembur.” Kata Deva ketika bimbingan usai.
Dalam waktu dekat,
sekolahku mengadakan lomba kebersihan antar kelas. Semua kelas
berlomba-lomba untuk menghias kelasnnya seindah mungkin. Bahkan, ada
beberapa kelas yang mendekorasi kelasnya sampai larut.
“Ok. Tadi
aku lihat memang belum terselesaikan.” Jawabku setelah kami selesai
membereskan buku. “Tapi, anak-anak kan sudah pulang semua. Dan itu
berarti kelas kita sudah dikunci.” Tambahku.
“Oh iya. Aku lupa.
Lewat cendela saja. Biasannya anak-anak cowokkan suka masuk kelas lewat
cendela. Lagian, ada batu besar yang dapat membantu kita naik dengan
mudah.”
“Ok lah.” Jawabku lirih.
Dan setelah itu, kami mulai
berjalan menuju kelas. Cendela yang dimaksud oleh Deva adalah cendela
belakang kelas kami. Benar apa yang dikatakan Deva. Ada sebuah batu
besar tepat di bawah cendela yang membuat kami dengan mudah memanjat
masuk ke dalam kelas. Melewati cendela tentunya.
Ini adalah kali
pertama aku melakukan hal seperti ini. Aku dan Deva seperti dua orang
pencuri yang sedang melakukan aksinya. Memasuki sebuah ruangan melewati
cendela yang lumayan tinggi.
****
Hari ini adalah hari
dimana aku mengikuti penyisihan pertama dalam olimpiade. Ya kalau aku
bisa aku akan mengikuti babak selanjutnya yang akan dilakukan dua minggu
lagi di UNAIR. Tapi, aku tidak berharap besar akan hal itu. Aku, Deva,
Kadek dan beberapa temanku yang mengikuti olimpiade ini menganggap
mengikuti sebuah lomba seperti ini hanya untuk menambah pengalaman baru.
Dan karenanya kami tidak berharap untuk bisa menang.
Soal-soal
yang diberikan sangat menguras otak. Bagaimana tidak, kami yang masih
kelas VIII mengikuti olimpiade seperti ini. Dijejali dengan soal-soal
yang materinya belum kami ketahui. Hanya garis besar yang diberikan pada
saat bimbingan yang menjadi modal utama kami mengerjakan soal-soal ini.
Seminggu
setelah pelaksanaan olimpiade itu, hasil dari penyihan pertama
diumumkan. Penyisihan yang pertama ini hanya lingkup Mojokerto. Dan dari
Mojokerto diambil 7 regu. Aku tidak terlalu berharap besar namaku dan
Kadek ada dalam 7 regu itu.
Namun, aku kaget setengah mati. Aku
kaget saat tau bahwa dari ketujuh grup itu namaku dan Kadek masuk dalam
daftar. Aku tak menyangka keisengan kami dalam menjawab soal bisa
membawa kami kesemifinal. Kami pun harus mengikuti bimbingan kembali
bersama satu tim lagi dari kakak kelas.
****
Sabtu ini aku
tidak mengikuti bimbel. Padahal, besok kami sudah mengikuti semifinal
olimpiade fisika. Hari ini, orang tuaku mengajakku memeriksakan
penyakitku kepada seorang mantri yang tinggal tidak jauh dari rumahku.
Bebrapa
waktu yang lalu, orang tuaku sudah memeriksakan penyakitku ini ke
laboratorium di sebuah rumah sakit di Mojosari. Dan hasilnya benjolan
yang ada di daguku ini adalah sebuah tumor. Dan untunglah ini tumor
jinak.
Dokter memutuskan untuk melakukan operasi pada tumorku ini.
Namun, aku tak tau pasti kenapa aku masih harus menunggu lama untuk
operasi ini. Seorang suster yang menangani berkas-berkasku berkata bahwa
aku masih menunggu kamar inap karena masih bergantian dan penuh. Karena
tidak tega melihatku terus menderita, orang tuaku memutuskan menarik
semua berkas-berkas rekam medisku dari rumah sakit itu.
Dan pada
hari ini, ayahku mengajak aku menemui seorang mantri katanya punya
hubungan dekat dengan rumah sakit yang hanya menangani masalah operasi.
Sebuah rumah sakit swasta yang ada di Surabaya.
Saat aku dan
ayahku memasuki ruangan mantri itu, ayahku memberikan beberapa berkas
dan rekam medisku. Setelah melihat berkas-berkas itu, mantra itu
langsung menelfon seseorang. Kelihatannya membicarakan tentang operasiku
dengan seorang dokter.
“Sekarang juga anak anda akan kita bawa ke
Surabaya. Malam ini operasinya akan dijalankan.” Kata mantra itu kepada
ayahku. “Dan sekarang, anda bisa kembali pulang untuk menyiapkan
hal-hal yang perlu dibawa nanti.” Lanjut mantri itu.
Dan setelah
mendengar hal itu, kami langsung memohon diri untuk pulang. Sesampainya
di rumah, ayahku memberitaulkan berita bagus ini kepada ibuku. Setelah
persiapan usai, kami kembali ke rumah mantri itu karena kami akan
diantar oleh sopir pribadi si mantra.
Saat akan berangkat ke rumah
mantra itu, aku melihat beberapa tetanggaku berkumpul di jalan di depan
rumahku. Mereka melepas kepergian kami dengan do’a supaya aku bisa
lancar dalam menjalani operasi ini.
****
Perjalanan terasa
sangat panjang. Berangkat dari Mojokerto sekitar pukul 18.00 dan tiba di
rumah sakit sekitar pukul 20.15. Surabaya Medical Service. Itulah nama
rumah sakitnya. Atau bisa lebih singkatnya rumah sakit SMS.
Setelah
menunggu beberapa lama untuk mengurusi adminitrasi, barulah kami
mendapat kabar bahwa operasiku tidak bisa dilakukan malam ini. “Ruang
operasi masih penuh.” Begitulah kata sopir yang mengantar kami tadi.
Aku
pun dibawa kesebuah kamar rawat inap di lantai dua. Setelah mengamati,
aku sadar bangunan rumah sakit ini seperti rumah tua zaman dulu. Mulai
dari kusennya, arsitekturnya, juga tanggga menuju lantai dua. Semua
menggambarkan bahwa rumah sakit ini dulunya adalah sebuah bangunan rumah
besar.
Operasiku diganti jadwal menjadi besok pagi jam 8. Aku pun
diperbolehkan makan setelah berpuasa sejak sepulang sekolah hingga
sampai di rumah sakit. Karena operasiku tidak jadi malam ini, aku pun
bisa makan dan melanjutkan puasa untuk operasi besok.
****
Suasana
pagi mulai terasa. Sinar matahari mulai masuk kedalam ruangan. Menembus
tirai yang menutupi cendela kaca di dalam kamar ini. Aku membuka mataku
lebar-lebar. Hatiku berdebar-debar menunggu jam 8.
Sejenak aku
teringat akan Kadek. Bagaimana dia sekarang. Hari ini adalah hari
semifinal olimpiade itu. Dan dia? Aku membiarkan dia berjuang sendirian
untuk menghadapi soal-soal yang ganas itu sendirian.
Aku sempat
berfikir, apa aku salah memilih menjalankan operasi ketimbang berjuang
dengan Kadek menghadapi soal-soal ganas itu. Apa aku egois, mendahulukan
kepentinganku yang mungkin bisa ditunda.
Belakangan setelah aku
menjalani operasi, orang tuaku memarahiku karena hal ini. “Mengapa kamu
nggak bilang kalau kamu ada lomba yang bersamaan dengan hari opersimu.
Operasimu itu kan bisa dintunda untuk beberapa hari.” Begitulah omelan
dari keluargaku.
Ya, aku memang tidak cerita kepada keluargaku
tentang aku yang mengikuti sebuah olimpiade tidak formal. Aku ini bukan
tipe orang yang suka menceritakan apa yang sedang aku hadapi. Bahkan
kepada keluargaku sendiri. Aku lebih suka menghadapi semua itu
sendirian.
Aku selau memisahkan antara masalah keluarga dan
masalahku di sekolah. Urusan rumah harus aku selesaikan di rumah. Urusan
sekolah harus aku selesaikan di sekolah. Begitulah pemikiranku. Jadi,
ketika ada masalah disekolah aku lebih suka memendamnya dan tidak
menceritakan kepada orang tuaku.
Tidak seperti beberapa temanku.
Mereka selalu menceritakan kejadian yang mereka alami di sekolah kepada
orang tuannya. Masalah dengan teman, masalah ulangan, masalah guru dan
masalah-masalah lainnya.
****
Jam menunjukkan pukul 07.45 ketika seorang perawat memasuki ruangan ini.
“Nona
Dyah Pitaloka, sekarang sudah waktunya bagi anda untuk menuju ruang
operasi.” Begitulah kata perawat itu. Aku berjalan mengikuti perawat
itu.
Aku mulai memasuki suatu ruangan. Bau-bau obat-obatan dapat
aku cium dengan mudah. Semua hal-hal yang berbau medis ada di sini.
Setalah berganti pakaian, aku diajak masuk ke sebuah ruangan yang aku
tau itu adalah ruang operasi.
Terlihat sebuah lampu besar. Ranjang yang ramping. Bebrapa gunting dan alat-alat operasi lainnya.
Suster
itu menyuruhku untuk tidur diranjang itu. Aku mulai mendengar
percakapan seorang dokter dan perawat. Mereka membicarakan takaran obat
bius yang akan diberikan kepadaku.
Seorang perawat menyuntikkannya
lewat selang infus yang ada di tangan sebelah kiriku. Beberapa saat
setelah obat itu disuntikkan, aku merasa mengantuk. Aku merasakan
kelopak mataku yang semakin lama semakin berat. Aku mencoba melawan rasa
kantuk ini. Namun hanya sia-sia belaka. Dan setalah itu, aku sadari
semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi suara yang terdengar. Seperti
hanya aku sendiri yang ada di ruangan ini.
Semuanya gelap, sampai
seorang perawat mulai menggoyang-goyangkan tubuhku. Perlahan namun
pasti. Aku mencoba menggerakkan kelopak mataku. Remang-remang aku mulai
melihat cahaya. Remang-remang aku mulai melihat seorang perawat
membangunkanku.
Namun, aku masih merasa ngantuk. Jadi aku pejamkan
lagi mataku. Kemudian aku teringat. Beberapa saat yang lalu aku berada
di ruang operasi. Dan sekarang, ruangannya terlihat berbeda. Apa
operasiku sudah selesai?
****
Minggu, 03 Desember 2009. Hari
yang tidak akan aku lupakan. Pada hari itu aku mulai bisa bernapas
lega. Lega karena operasiku berjalan dengan lancer. Akhirnya kini aku
bebas. Bebas dari penderitaan selama empat tahun lebih. Bebas dari
parasit di daguku. Aku bisa hidup bebas tanpa ada tumor lagi. Dan
semoga, ini adalah operasi tumor pertama dan terakhirku.
Aku juga
akan mengingat. Hari ini juga aku telah meninggalkan seorang temanku.
Meninggalkan dia berjuang sendirian mengahadapi soal olimpiade yang
menguras otak itu. Aku ini memang egois. Padahal operasiku bisa ditunda.
Ya
walaupun jika aku menemaninya dan kami tetap saja tidak lolos. Itu
terdengar lebih baik. Dari pada aku tidak menemaninya dan kami tidak
lolos. Belakangan aku tau dari Kadek bahwa yang lolos dari babak
penyisihan itu memang anak yang pandai-pandai.
Kadek, maafkan keegoisanku ini……