Jumat, 18 Januari 2013

Bensin VS Ulang Tahun


Cahaya mentari pagi mulai menembus tirai-tirai tipis di kamarku. Cahayanya mulai menerangi sudut-sudut kecil di kamarku. Kehangatannya memberikan kenyamanan tersendiri bagiku. Aku pun mulai terbangun dari tidurku yang indah.
Tak lupa aku melakukan rutinitasku disetiap bangun tidur. Memandang sebuah gambar diri yang menempel di dinding kamarku. Fotoku bersama dengan seorang sahabat karibku. Aku selalu ingin tertawa jika melihat foto itu.
Karena, tiap aku pandang foto itu aku selalu teringat akan kejadian lucu ketika kami mengambil foto itu. Foto itu kami ambil sekitar tiga bulan lalu di rumah Tya. Sahabatku yang ada dalam foto itu.
Aku sudah mengenalnya sejak kelas 7 SMP dan pernah sekelas ketika kelas 8. Entah sejak kapan persahabatan kami ini dimulai. Yang jelas, takdirlah yang mempertemukanku dengan sahabat sebaik dia.
Tiba-tiba saja pandanganku beralih pada kalender kecil yang ada di meja belajarku. Mataku terus memlototi kalender itu. “Ternyata hari yang aku tunggu adalah besok. Momen erharga yang terjadi sekali seumur hidupku ini tak akan aku sia-siakan. Sweet seventeen itu terjadi sekali seumur hidup.” Ucapku lirih dalam hati.
*****
“Wah, kayaknya besok ada yang mau basah-basahan nih.” Ucap Titi kakak perempuanku ketika kami sekeluarga berkumpul menonton acara televisi.
“Oh iya Kak, besok itu kan 15 Desember, jadi besok ada yang harus kena siram nih.” Sahut Baim adikku.
“Ih apaan sih. Besok itu nggak bakalan ada acara begituan.” Ucapku ketus.
“Eh, nggak cuma disiram pake air, sekalian aja kita timpukin pake telur busuk. Tuh di kandang ayam banyak telur busuk.” Ucap Alex kakak laki-lakiku yang tak mau kalah.
“Loh-loh kok jadi tambah ngaco gitu sih.” Protesku.
“Nah tuh. Kak Aya jadi tambah marah tuh.” Goda Baim yang lantas tertawa.
“Eh kalian jangan ribut terus. Di rumah kerjaannya ribut aja.” Lerai ibuku.
“Iya kalian jangan ribut terus. Acaranya jadi nggak kedengeran.” Imbuh ayahku.
“Ehm, ya udah aku tidur aja. Lagian juga udah malem.” Ucapku yang lantas pergi menuju kamar.
Di kamar, aku mulai gelisah menanti hari esok. Aku berharap apa yang dikatan oleh saudara-saudaraku tadi hanya bercanda seperti yang biasanya. Aku tak bisa membayangkan jika semua itu benar-benar terjadi padaku.
Kini aku mulai mencoba untuk tetap terjaga. Tapi entah mengapa, kelopak mataku ini tidak bisa untuk diajak kompromi. Semakin aku tahan, semakin kuat perlawanan kelopak mata ini untuk menutup. Dan pada akhirnya, aku terkalahkan oleh rasa kantukku.
Aku sudah terlelap dalam tidurku. Padahal aku ingin sekali bisa tetap terjaga sampai tengah malam nanti. Aku ingin sekali melewati malam pergantian umurku. Tapi tak apalah. Aku tadi sudah menyetel alarm tepat tengah malam. Berharap bisa membangunkanku seperti keinginanku.
*****
Aku terbangun ketika cahaya mentari mengenai wajahku. Sekarang sudah pagi rupanya. Pagi dimana aku mempunyai usia baru.
“Apa? Ini sudah pagi? Alarm sialan. Kenapa nggak bisa bangunin aku di tengah malam. Jadi kesiangankan. Tapi sudalah. Ini hari spesialku. Jadi, aku nggak boleh marah-marah.”
Aku pun mulai merenungi perjalanan hidupku. Tanpa terasa sudah 17 tahun aku mangarungi lautan kehidupan. Banyak hal sudah aku peroleh selama 17 tahun ini. Aku sudah menemukan sedikit ilmu, pengetahuan, pengalaman. Aku juga sudah memiliki keluarga yang menyayangiku, sahabat yang selalu ada untukku, dan tak tertinggal, teman-teman yang selalu menghiburku.
Namun, dalam 17 tahun ini aku belum bisa melakukan apapun. Aku belum bisa membuat kedua orang tuaku tersenyum bangga padaku. Impianku untuk membahagiakan kedua orang tuaku belum terwujud.
Selama 17 tahun ini, mereka telah membesarkanku dengan penuh kasih sayang, penuh nilai-nilai kehidupan, mereka juga telah mengajarkan banyak hal padaku. Mereka adalah pahlawan dalam hidupku. Tanpa adanya mereka, aku tak akan bisa ada di dunia ini. Aku tak bisa melihat keindahan dunia.
Jasa mereka sungguh besar bagiku. Aku tau, apapun yang aku lakukan, apapun yang aku berikan pada mereka takkan pernah sebanding dengan pengorbanan mereka. Bahkan, semua uang yang ada di dunia ini tak bisa membayar jasa mereka kepadaku.
 Untuk itu, aku membulatkan tekatku utuk bisa membahagiakan orang tuaku. Bagaimanapun caranya, aku ingin melihat mereka tersenyum bangga padaku. Walaupun hanya sekali, aku ingin melakukan itu. Ini adalah impian terbesarku yang harus segara aku capai.
*****
“Kenapa sekolah bisa sesepih ini. Mentang-mentang UAS sudah selesai dan yang jelas di sekolah nggak ada pelajaran, semua bisa seenaknya bolos sekolah. Kalo nggak karna pengen dapet uang saku dan ketemu temen-temen yang sama gilanya sepertiku pasti aku juga nggak masuk sekolah.” Ucapku ketika memasuki area sekolah.
Seperti biasa, kalo UAS sudah selesai pasti sekolahku akan mengadakan classmeeting. Semacam perlombaan antar kelas. Yang dilombakan cukup banyak memang. Dari futsal, volly, debate bahasa Inggris, lomba klompen, paduan suara, sampe yang namanya drama parodi ada.
Tapi, aku tak seberapa suka jika ada classmeeting. Pasalnya, banyak anak yang nggak mau kompak walaupun itu demi kelasnya sendiri. Liat aja, hari ini kelasku giliran tampil lomba paduan suara. Tapi, perwakilan yang sudah ditunjuk nggak masuk sekolah.
Alhasil tim paduan suara dadakan dari kelasku tampil dengan sangat kacau. Semua jadi berantakan, memalukan. Tak seperti latihan-latihan kemarin yang terlihat bagus. Aku sampai tak kuasa melihatnya. Tapi sudahlah. Memang dasarnya mereka sulit diatur.
Suasana sekolah yang seperti ini membuatku bosan. Aku memutuskan untuk segera pergi dari tempat mengerikan ini. “Wati, pulang yuk.” Ucapku pada seorang temanku.
“Ok. Kita pulang. Kamu duluan aja, tunggu aku di depan kelas.” Jawab Wati santai.
Aku pun menurutinya. Aku mulai berjalan dan berdiri mematung di depan ruang kelas. Disaat-saat seperti ini aku jadi gelisah. Aku berharap teman-temanku tak melakukan ritual rutin yang dilakukan pada anak yang sedang ulang tahun. Yaitu, memasukkan ke kolam ikan sekolah.
Kalo kolamnya bersih sih nggak papa. Aku malah akan menyerahkan diriku untuk mereka ceburkan. Tapi ini, mengerikkan. Kolamnya kotor, bau, berlumut, terkadang ada bangkai ikan mengambang. Dan warna airnya itu, hijau tua dengan penuh lumut di dinding kolam. Aku tak sudi jika masuk ke kolam seperti itu.
Di tengah penantianku, datang beberapa temanku. Mereka mendekatiku dan langsung memegang tangan dan kakiku. Sepertinya mereka akan melakukan hal yang sedari tadi aku pikirkan. Menceburkanku ke kolam sekolah.
“Eh kalian mau apa?” ucapku.
“Kamu kan hari ini ulang tahun, sudah sepantasnya kalo kami menceburkanmu ke kolam sekolah.” Jawab Lia santai.
“Coba saja kalo bisa.” Ucapku santai.
Disaat seperti ini, aku mulai menunjukkan sisi laki-lakiku. Oh maaf maksudku ketomboyanku. Tanganku memegang pot bunga yang ada di dekatku. Disosisi setengah terlentang seperti ini, aku mencoba melepaskan kakiku dari genggaman teman-temanku.
Tanpa melihatnya, aku menendang-nendang tak karuan. Sempat aku dengar ada yang merintih kesakitan. Tapi, aku tak menghiraukan hal itu. Yang penting aku bisa selamat. Jika aku dalam posisi seperti ini, aku bisa lebih kejam dari seorang preman.
Dan setelah berjuang mati-matian melawan algojo yang siap menceburkanku ke kolam sekolah, aku memenangkan pertarungan ini. Aku bisa terbebas dari cengkraman mereka.
“Udah aku bilanginkan. Kalian nggak akan bisa menceburkanku ke kolam. Berapa pun banyaknya kalian, aku akan tetap melawan.” Ucapku sedikit menyobong. Setelah berucap demikian, aku menjaga jarak dari teman-temanku. Takut-takut nanti mereka melakukan serangan susulan.
Hari melelahkan disekolah telah usai. Kini aku harus menyiapkan mentalku untuk diuji di rumah. Aku masih terus berharap perkataan saudara-saudaraku kemarin malam itu hanya bercanda.
*****
Sebuah panggilan masuk dari Ofa ketika aku sedang menonon sebuah film India disebuah stasiun televisi swasta. “Ada angin apa yang membuat Ofa menelfonku.” Tanpa berfikir panajang, aku jawab telefon itu.
“Assalamuaikum. Halo Aya?” ucap Ofa dalam telfon.
“Waalaikumsalam. Iya Fa ada apa?”
“Bisa bantu aku nggak?”
“Apa?”
“Aku lagi ama Abangku. Motor kami kehabisan bensin di jalan sawah deket rumah kamu. Kamu tau nggak orang jualan bensin eceran di sekitar sini? Atau kalo nggak kamu bawain bensin kesini?” jelas Ofa.
Seakan terhipnotis dengan kata-kata Ofa, aku menyetujuinya. “Hemb. Baiklah di jalan sawah ya. Ok. Bentar lagi aku kesitu. Aku ambil kunci motor dulu.”
Tak selang beberapa lama, aku sudah berada di depan rumah. Membeli sebotol bensin dari tetanggaku. Motor aku pacu menuju arah yang dimaksudkan Ofa tadi. Dalam perjalanan aku mulai berfikir.
“Bukannya di dekat jalan sawah yang dimaksud Ofa tadi ada perkampungan ya? Di perkampungan pastinya ada yang jualan bensin. Kenapa nggak tanya aja ke orang dimana tempat jualan bensin. Kenapa harus aku coba? Apa aku sedang ditipu? Ah sudahlah optimis aja. Kan kasihan juga kalo ini beneran.” Ucapku dalam hati.
Jarakku semakin dekat dengan sawah yang dimaksud Ofa. Setelah sampai, aku berhenti di bawah pohon mangga. Sejauh mataku memandang, aku tak melighat ada orang yang berhenti di pinggir jalan.
Malah sekarang aku jadi sorotan para pengguna jalan yang melintas. “Apa aku memang benar-benar dibodohi? Kan nggak lucu kalo aku memang benar-benar dibodohi. Terus Ofa sama Tya bersembunyi disemak-semak dan nyiram aku pake air atau tepung.” Tanyaku pada diriku sendiri.
Aku sekarang jadi ingat. Kemarin, waktu SMSan ama Tya entah mengapa tiba-tiba dia tanya jalan menuju rumahku. Dia pernah sih ke rumahku. Tapi itu cuma sekali waktu kelas 8. Dan dia bilang lupa jalan menuju rumahku.
Tapi sudalah tetap optimis mencari Ofa. Aku mengirim sebuah SMS padanya. “Kamu sekarang dimana?” selang beberapa saat, Ofa membalas.
“Kira-kira dimana ada orang jualan bensin? Aku mau nyoba kesana aja. Maaf Aya udah ngrepotin kamu. L” jawab Ofa dalam SMS.
Tanpa berfikir panjang, aku pun menelefonnya.
“Assalamuaikum. Ofa kamu dimana?” ucapku dalam telefon.
“Waalaikumsalam.”
“Sekarang aku udah di sawah yang kamu maksudkan tadi?”
“Jadi kamu udah di sawah? Udah bawa bensinnya juga?”
“Iya ini. bensin udah di tangan sekarang kamu dimana?”
“Tapi kamu kok belum keliatan. Sebentar ya.” Setelah berucap demikian Ofa mematikan telfonnya.
Sekarang aku seperti orang yang nggak jelas. Mondar mandir naik motor sambil bawa sebotol bensin. Jalan sawah ini sudah aku susuri dari ujung ke ujung. Tapi, hasilnya nihil. Beberapa kali aku SMS dia menanyakan posisinya. Tapi, tak ada balasan yang masuk.
Dalam posisi demikian aku jadi khawatir dengan keadaan Ofa. Kalo emang dia udah dapet bensin kenapa nggak bilang aja ke aku kalo udah dapet. Supaya aku berhenti mengkhawairkannya.
Entah sudah berapa kali aku menyusuri jalanan ini. dan tetap, aku menjadi pusat perhatian para pengguna jalan. Betapa malunya aku. Aku hampir saja emosi dalam penantianku.
Dan tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah SMS masuk. “Aku harap ini dari Ofa. Aku udah capek nunggu lama kayak gini.” Ucapku dalam hati ketika aku membuka SMS itu. Dan ternyata itu bukan Ofa. Melainkan Tya. Dia hanya berkata “sore”.
Beberapa saat setelah aku membalas SMS Tya, sebuah panggilan masuk dari Ayahku. Wah kelihatannya aku harus pulang sekarang. Mungkin Ofa sudah mendapatkan apa yang dia butuhkan. Dan sekarang saatnya aku pulang.
Dalam perjalanan pulang, aku sempat berfikir. Jika dirumah nanti, aku melihat ada Ofa dan Tya sudah menunggu kedatanganku. Pasti aku akan sangat marah pada Ofa karena dia sudah mempermalukanku hari ini.
Di depan rumahku terpakir sebuah motor yang asing bagiku. Setelah aku turun dari motorku, aku menuangkan bensin yang sedari tadi menemaniku berkeliling. Lebih baik untuk mengisi motorku sendiri. Toh bensinku juga limit.
“Dari mana aja kamu?” ucap kak Titi.
“Ehm. Tadi ada temenku yang kehabisan bensin. Terus minta tolong aku untuk bawain bensin.”
“Loh terus kenapa bensinnya kok kamu tuang ke motor kamu sendiri?”
“Aku udah nunggu lama tapi dianya nggak ada. Ya udah aku tinggal pulang. Mungkin dia udah dapet bensin kali. Eh motor siapa itu Kak?”
“Tamu.”
“Oh tamu yang tadi ya?” ketika aku pergi tadi, memang di rumahku sedang ada tamu. Jadi kecurigaanku terhadap Ofa dan Tya sirna sudah.
“Ayah nyariin kamu tuh. Masuknya lewat pintu samping aja.”
“Ok. Kalo gitu balikin botol bensinnya.” Ucapku yang lantas pergi meninggalkan kakakku.
Hemb. Ternyata nggak ada kejutan untukku hari ini. Semua baik-baik saja. Semua berubah ketika aku sudah menemui ayahku. Aku tak menyangka akan seperti ini.
“Ada apa Yah?” ucapku ketika menemui ayahku.
“Ada tamu untuk kamu.” Jawab ayahku sambil menujuk ke arah ruang tamu.
Aku lihat siapa yang sudah menantiku disana. Aku tak menyangka akan mendapatkan kejutan seperti ini. Ofa dan Tya sudah berada di rumahku. Mereka telah membuat sebuah kejutan untukku. Dan entah mengapa rasa jengkelku tadi telah sirna. Aku terharu dengan ini semua.
Belakangan baru aku sadari kalau alasan kehabisan bensin adalah salah satu cara untuk mengusirku dari rumah. Ini semua rencana dari kedua kawanku Ofa dan Tya. Sungguh hari yang menakjubkan yang pernah aku alami.
Kalian berhasil kawan. Kalian berhasil mengerjai aku hingga aku terlihat seperti orang bodoh. Yang berkeliling tanpa arah, jadi sorotan pengguna jalan karena bensin yang aku bawa. Hebatnya lagi aku kurang cepat menyadari hal ini. Padahal banyak hal yang mencurigakan dari kalian tadi.
*****
Malam ini aku kembali termenung di balkon rumahku memandangi langit gelap. Langit menjadi lebih indah dengan hiasan gemerlap bintang-bintang. Terlebih lagi ada cahaya rembulan yang sungguh indah.
Entah mengapa aku senang sekali jika memandangi rembulan. Cahaya rembulan di malam gelap selalu memberikan kenyamanan tersendiri untukku. Setiap memandangnya hati ini terasa tenang, damai, beban seperti hilang.
Aku tak menyaka hari ini aku bisa sebahagia ini. Aku udah terhindar dari kolam mengerikkan milik sekolah. Dan yang paling menyenangkan adalah saudara-saudaraku tak bersungguh-sunguh dengan kata-katanya.
Terlebih lagi dengan adanya kejutan dari dua kawan baikku. Tya dan Ofa. Mereka telah memberiku kenangan yang tak terlupakan. Dan semua kejadian yang ada pada hari ini akan selalu aku ingat. Dan akan aku ukir di dalam lubuk hatiku.
Dan setelah hari ini, aku pasti akan menjalani hari-hari yang indah. Hari-hari baru yang penuh mimpi yang harus aku wujudkan. Dan aku akan melakukan hal yang dikatakan Bondan dalam lagunya, “It’s our time to make a history.” Aku akan membuat kenangan baru bersama kawan-kawanku diusia baruku.
*****
Seminggu setelah ulang tahunku, dan hari ini bertepatan dengan hari ibu. Aku kembali mendapat kejutan yang indah. Kali ini bukan dari keluargaku, sahabatku ataupun teman-temanku.
Kejutan ini berasal dari perjuanganku selama 6 bulan terakhir. Hari ini raportku dibagi. Sempat hati ini merasa dag dig dug menanti raport. Sebelum raport dibagi, beberapa temanku memaksa wali kelas kami untuk membocorkan peringkat yang ada di kelas.
Dan yang mengejutkan bagiku adalah aku berhasil meraih peringkat pertama di kelas. Bukan itu saja yang mengejutkan bagiku. Ketika raport dibagi, aku mengetahui bahwa aku berhasil meraih peringkat satu paralel dari seluruh kelas XI IPS. Sebuah kebanggan untukku.
Ini aku persembahkan untuk kedua orang tuaku. Dan terutama untuk ibuku. Ibu, ini kado kecil dariku di hari ibu. Semoga ibu senang menerimanaya. Aku senang sekali. Ketika dirumah, aku bisa melihat mereka tersenyum bangga padaku.
Impian terbesarku telah tercapai. Setelah ini, aku kan terus berusaha untuk tetap bisa mempertahankan yang sudah aku raih dan aku akan tetap berusaha untuk membahagiakan kedua orang tuaku. Hari-hari yang indah di usia 17..................................


THE END


Selasa, 20 November 2012

Maafkan Aku Sobat-Puisi

Aku yang egois
Aku yang serakah
Asal ngomong
Tak perdulikan perasaanmu
Aku sadar
Terlalu banyak salahku padamu
Sobatku
Kini aku mohon sesuatu padamu
Sesuatu yang jarang
Bahkan tak pernah aku memintanya
Aku mohon maaf
Atas semua kesalahanku padamu
Dan aku berharap
Setelah hari ini
Tiada benci diantara kita
Tiada lagi salah yang ku perbuat
Dan kita makin bersahabat

Jumat, 02 November 2012

maafkan keegoisanku


Pagi yang cerah untuk memulai aktifitas. Tapi, semuannya berbeda dengan keadaanku sekarang ini. Aku hanya bisa berbaring di ranjang. Meraung-raung menahan sakit. Sakit yang terus menghantamku.
Aku tak kuat lagi menahan rasa sakit ini. Sebuah benjolan di bawah daguku yang sangat menyiksaku. Aku hanya berharap, rasa sakit ini segera hilang. Nyeri yang luar biasa tidak hanya aku rasakan di benjolan itu. Tapi, hampir di seluruh syaraf di sekitar leher terasa nyeri.
Ini bukan kali pertama aku merasakan hal ini. Sudah berkali-kali benjolan ini membuatku terkapar menahan sakit. Sampai-sampai, aku pernah berdo’a.
“Ya Allah, aku tak kuat lagi dengan semua yang aku rasakan. Jika memang kematian adalah yang terbaik bagiku, maka segera cabut nyawaku ini. Dan jika memang masih ada obat untuk penyakitku ini, maka segera pertemukan aku dengan obat itu. Aku tak ingin lagi merasakan sakit yang menyiksa ini.”
Itulah do’a yang selalu aku panjatkan setiap rasa sakit ini datang padaku. Aku selalu merasa putus asa dengan keadaanku ini. jika aku mengeluh tentang penyakitku, orang tuaku selelu berkata.
“Jangan pernah mengeuluh. Karena mengeluh itu nggak akan mengurangi rasa sakitmu.” Begitulah nasihat mereka. Aku memang menyadari itu. Tapi, aku capek merasakan sakit karena penyakit ini.
“Dyah, kamu sekolah apa tidak?” terdengar suara ibuku yang mulai memasuki kamarku.
“Sepertinya tidak Bu.” Ucapku lirih.
“Kenapa? Kambuh lagi sakitnnya?” Tanya ibuku setelah melihat keadaanku.
Aku hanya bisa menjawab dengan sebuah anggukkan kecil. Setelah itu, aku melihat ibuku meninggalkanku sendiri di kamar. Dan setelah itu, aku menutup mataku. Mencoba untuk kembali tidur dan melupakan rasa sakit ini.
****
Esoknya, aku merasa sudah jauh lebih baik dari kemarin. Aku berangkat ke sekolah ditemani dengan sepeda angin kesayanganku. Seperti biasa, aku berangkat dengan Atun dan Fitri. Teman SDku yang satu SMP denganku.
Setelah sampai di sekolah, kami langsung menuju ke parkiran. Dan disanalah kami langsung berpencar munuju kelas kami masing-masing. Aku di VIII C, Atun VIII E, dan Fitri VIII F. kelas Atun dan Fitri bersebelahan.
Terlihat keramaian dari dalam kelasku. Kelihatannya teman-temanku sedang sibuk mengerjakan tugas. Utunglah kemarin tugasku sudah aku selesaikan. Jadi, aku bisa sedikit lebih tenang.
“Hey, Dyah. Sakit apa kamu kemarin kok nggak masuk?” Ucap Angelo saat aku memasuki kelas.
“Eh kamu Ngel. Biasa, sakitku kambuh.” Ucapku lirih. Semua teman sekelasku sudah mengetahui tentang penyakitku ini. Bagaimana tidak tahu kalau benjolan ini lumayan besar. Dan lagi pula, benjolan ini dapat dilihat dengan jelas karena terletak dibawah dagu.
“Tugas fisikamu sudah selesai.” Lanjut Angelo.
Sudah bisa aku tebak jika temanku bertanya seperti ini padaku. Ujung-ujungnya juga mau pinjam tugas. Biasa kalau ada tugas yang belum terselesaikan, semua teman kelasku selalu menyelesaikannya di sekolah.
“Sudah. Memangnya kenapa?” kataku dengan polosnnya.
“Biasa, aku belum selesai tugasnnya. Aku pinjam punya kamu ya?” Jawab Angelo dengan santainnya.
“Ini, kalau sudah selesai segera kembalikan padaku.” Ucapku seraya memberikan buku tugasku.
“Ok. Sip. Selesai aku salin, akan aku kembalikan lagi.” Jawab Angelo yang langsung meninggalkanku.
Setelah beberapa detik berdiri mematung, aku berjalan menuju tempat dudukku. Aku pandangi keadaan sekelilingku. Hampir semua temanku mengerjakan tugas fisika. Ya kecuali beberapa anak yang rajin.
Kalau aku, tidak seratus persen dibilang rajin. Terkadang, ada juga tugas yang tidak aku selesaikan. Lebih baik menyontek milik teman dari pada kebingungan tidak bisa menyelesaikan tugas. Itulah pikiranku jika kesulitan mengerjakan tugas.
“Dyah, kamu jadi ikut nggak?” Ucap Deva kepadaku.
“Ikut apa?” Tanyaku sambil mencoba mengingat-ingat.
“Olimpiade itu? Kamu ikut nggak?” Balas Deva.
Akhirnya aku ingat. Olimpiade fisika yang terbilang tidak formal. Olimpiade ini diadakan oleh sebuah bimbel yang bekerjasama dengan UNAIR. Olimpiade beregu yang dilakukan memalui dua tahapan penyisihan.
“Oh. Olimpiade itu. Insyaallah aku ikut. Tapi, aku nanti aku pasangan sama siapa? Olimpiade itu beregu. Dan setiap regu itu 2 orang.” Kataku.
“Aku sudah sama Khusnah anak kelas VIII G. Tanya saja Kadek, katannya dia juga pengen ikut. Itu anaknya baru datang.” Ucap Deva ketika Kadek mulai memasuki kelas.
“Eh Dek. Kesini sebentar.” Kataku dengan sedikit berteriak.
“Ada apa? Mau minta tanda tanganku ya? Sorry banget, aku lagi nggak melayani permintaan tanda tangan.” Jawab Kadek dengan nada bercanda.
“Ye, pede banget. Siapa juga yang mau minta tanda tangan.” Jawabku.
“Kamu jadi ikut olimpiade fisika itu kan?” Tanya Deva ketika Kadek meletakkan tasnnya.
“Aku sih pengen ikut tapi nggak ada pasangannya.” Jawab Kadek lirih.
“Wah kebetulan. Sama aku aja. Aku juga pengen ikut. Lumayanlah nambah pengalaman. Gimana, kamu mau nggak?” Tanyaku.
“No problem. Apa saja persyaratannya?” Ucap Kadek.
“Nanti saja kita tanya pada Bu Titik, hari ini kan ada jam fisika.” Jawab Deva. “Oh iya, denger-denger yang ikut olimpiade itu akan mendapat bimbingan untuk bekal dalam mengaerjakan soal.”
“Wah tambah asyik tuh. Dapet materi baru.” Jawab Kadek saat bel masuk berbunyi.
Terlihat teman-temanku mulai menduduki bangku masing-masing. Saat Bu Rina guru Bahasa Inggris kami masuk, semua terdiam dan menghentikan aktifitasnnya. Do’a bersama yang dipimpin oleh ketua kelas mulai terdengar.
****
Seperti kata Deva, siswa yang mengikuti olimpiade fisika mendapatkan bekal materi dari beberapa guru fisika kami. Disini kami mendapatkan materi-materi baru yang belum kami dapatkan. Tambahan materi ini dilakukan setiap hari jum’at dan sabtu sejak 2 minggu sebelum olimpiade dimulai. Jum’at ini Kadek tidak mengikuti bimbingan.
“Dyah, kita ke kelas dulu ya? Melanjutkan menghias mading. Lihat anak kelas lain ada yang lembur.” Kata Deva ketika bimbingan usai.
Dalam waktu dekat, sekolahku mengadakan lomba kebersihan antar kelas. Semua kelas berlomba-lomba untuk menghias kelasnnya seindah mungkin. Bahkan, ada beberapa kelas yang mendekorasi kelasnya sampai larut.
“Ok. Tadi aku lihat memang belum terselesaikan.” Jawabku setelah kami selesai membereskan buku. “Tapi, anak-anak kan sudah pulang semua. Dan itu berarti kelas kita sudah dikunci.” Tambahku.
“Oh iya. Aku lupa. Lewat cendela saja. Biasannya anak-anak cowokkan suka masuk kelas lewat cendela. Lagian, ada batu besar yang dapat membantu kita naik dengan mudah.”
“Ok lah.” Jawabku lirih.
Dan setelah itu, kami mulai berjalan menuju kelas. Cendela yang dimaksud oleh Deva adalah cendela belakang kelas kami. Benar apa yang dikatakan Deva. Ada sebuah batu besar tepat di bawah cendela yang membuat kami dengan mudah memanjat masuk ke dalam kelas. Melewati cendela tentunya.
Ini adalah kali pertama aku melakukan hal seperti ini. Aku dan Deva seperti dua orang pencuri yang sedang melakukan aksinya. Memasuki sebuah ruangan melewati cendela yang lumayan tinggi.
****
Hari ini adalah hari dimana aku mengikuti penyisihan pertama dalam olimpiade. Ya kalau aku bisa aku akan mengikuti babak selanjutnya yang akan dilakukan dua minggu lagi di UNAIR. Tapi, aku tidak berharap besar akan hal itu. Aku, Deva, Kadek dan beberapa temanku yang mengikuti olimpiade ini menganggap mengikuti sebuah lomba seperti ini hanya untuk menambah pengalaman baru. Dan karenanya kami tidak berharap untuk bisa menang.
Soal-soal yang diberikan sangat menguras otak. Bagaimana tidak, kami yang masih kelas VIII mengikuti olimpiade seperti ini. Dijejali dengan soal-soal yang materinya belum kami ketahui. Hanya garis besar yang diberikan pada saat bimbingan yang menjadi modal utama kami mengerjakan soal-soal ini.
Seminggu setelah pelaksanaan olimpiade itu, hasil dari penyihan pertama diumumkan. Penyisihan yang pertama ini hanya lingkup Mojokerto. Dan dari Mojokerto diambil 7 regu. Aku tidak terlalu berharap besar namaku dan Kadek ada dalam 7 regu itu.
Namun, aku kaget setengah mati. Aku kaget saat tau bahwa dari ketujuh grup itu namaku dan Kadek masuk dalam daftar. Aku tak menyangka keisengan kami dalam menjawab soal bisa membawa kami kesemifinal. Kami pun harus mengikuti bimbingan kembali bersama satu tim lagi dari kakak kelas.
****
Sabtu ini aku tidak mengikuti bimbel. Padahal, besok kami sudah mengikuti semifinal olimpiade fisika. Hari ini, orang tuaku mengajakku memeriksakan penyakitku kepada seorang mantri yang tinggal tidak jauh dari rumahku.
Bebrapa waktu yang lalu, orang tuaku sudah memeriksakan penyakitku ini ke laboratorium di sebuah rumah sakit di Mojosari. Dan hasilnya benjolan yang ada di daguku ini adalah sebuah tumor. Dan untunglah ini tumor jinak.
Dokter memutuskan untuk melakukan operasi pada tumorku ini. Namun, aku tak tau pasti kenapa aku masih harus menunggu lama untuk operasi ini. Seorang suster yang menangani berkas-berkasku berkata bahwa aku masih menunggu kamar inap karena masih bergantian dan penuh. Karena tidak tega melihatku terus menderita, orang tuaku memutuskan menarik semua berkas-berkas rekam medisku dari rumah sakit itu.
Dan pada hari ini, ayahku mengajak aku menemui seorang mantri katanya punya hubungan dekat dengan rumah sakit yang hanya menangani masalah operasi. Sebuah rumah sakit swasta yang ada di Surabaya.
Saat aku dan ayahku memasuki ruangan mantri itu, ayahku memberikan beberapa berkas dan rekam medisku. Setelah melihat berkas-berkas itu, mantra itu langsung menelfon seseorang. Kelihatannya membicarakan tentang operasiku dengan seorang dokter.
“Sekarang juga anak anda akan kita bawa ke Surabaya. Malam ini operasinya akan dijalankan.” Kata mantra itu kepada ayahku. “Dan sekarang, anda bisa kembali pulang untuk menyiapkan hal-hal yang perlu dibawa nanti.” Lanjut mantri itu.
Dan setelah mendengar hal itu, kami langsung memohon diri untuk pulang. Sesampainya di rumah, ayahku memberitaulkan berita bagus ini kepada ibuku. Setelah persiapan usai, kami kembali ke rumah mantri itu karena kami akan diantar oleh sopir pribadi si mantra.
Saat akan berangkat ke rumah mantra itu, aku melihat beberapa tetanggaku berkumpul di jalan di depan rumahku. Mereka melepas kepergian kami dengan do’a supaya aku bisa lancar dalam menjalani operasi ini.
****
 Perjalanan terasa sangat panjang. Berangkat dari Mojokerto sekitar pukul 18.00 dan tiba di rumah sakit sekitar pukul 20.15. Surabaya Medical Service. Itulah nama rumah sakitnya. Atau bisa lebih singkatnya rumah sakit SMS.
Setelah menunggu beberapa lama untuk mengurusi adminitrasi, barulah kami mendapat kabar bahwa operasiku tidak bisa dilakukan malam ini. “Ruang operasi masih penuh.” Begitulah kata sopir yang mengantar kami tadi.
Aku pun dibawa kesebuah kamar rawat inap di lantai dua. Setelah mengamati, aku sadar bangunan rumah sakit ini seperti rumah tua zaman dulu. Mulai dari kusennya, arsitekturnya, juga tanggga menuju lantai dua. Semua menggambarkan bahwa rumah sakit ini dulunya adalah sebuah bangunan rumah besar.
Operasiku diganti jadwal menjadi besok pagi jam 8. Aku pun diperbolehkan makan setelah berpuasa sejak sepulang sekolah hingga sampai di rumah sakit. Karena operasiku tidak jadi malam ini, aku pun bisa makan dan melanjutkan puasa untuk operasi besok.
****
Suasana pagi mulai terasa. Sinar matahari mulai masuk kedalam ruangan. Menembus tirai yang menutupi cendela kaca di dalam kamar ini. Aku membuka mataku lebar-lebar. Hatiku berdebar-debar menunggu jam 8.
Sejenak aku teringat akan Kadek. Bagaimana dia sekarang. Hari ini adalah hari semifinal olimpiade itu. Dan dia? Aku membiarkan dia berjuang sendirian untuk menghadapi soal-soal yang ganas itu sendirian.
Aku sempat berfikir, apa aku salah memilih menjalankan operasi ketimbang berjuang dengan Kadek menghadapi soal-soal ganas itu. Apa aku egois, mendahulukan kepentinganku yang mungkin bisa ditunda.
Belakangan setelah aku menjalani operasi, orang tuaku memarahiku karena hal ini. “Mengapa kamu nggak bilang kalau kamu ada lomba yang bersamaan dengan hari opersimu. Operasimu itu kan bisa dintunda untuk beberapa hari.” Begitulah omelan dari keluargaku.
Ya, aku memang tidak cerita kepada keluargaku tentang aku yang mengikuti sebuah olimpiade tidak formal. Aku ini bukan tipe orang yang suka menceritakan apa yang sedang aku hadapi. Bahkan kepada keluargaku sendiri. Aku lebih suka menghadapi semua itu sendirian.
Aku selau memisahkan antara masalah keluarga dan masalahku di sekolah. Urusan rumah harus aku selesaikan di rumah. Urusan sekolah harus aku selesaikan di sekolah. Begitulah pemikiranku. Jadi, ketika ada masalah disekolah aku lebih suka memendamnya dan tidak menceritakan kepada orang tuaku.
Tidak seperti beberapa temanku. Mereka selalu menceritakan kejadian yang mereka alami di sekolah kepada orang tuannya. Masalah dengan teman, masalah ulangan, masalah guru dan masalah-masalah lainnya.
****
Jam menunjukkan pukul 07.45 ketika seorang perawat memasuki ruangan ini.
“Nona Dyah Pitaloka, sekarang sudah waktunya bagi anda untuk menuju ruang operasi.” Begitulah kata perawat itu. Aku berjalan mengikuti perawat itu.
Aku mulai memasuki suatu ruangan. Bau-bau obat-obatan dapat aku cium dengan mudah. Semua hal-hal yang berbau medis ada di sini. Setalah berganti pakaian, aku diajak masuk ke sebuah ruangan yang aku tau itu adalah ruang operasi.
Terlihat sebuah lampu besar. Ranjang yang ramping. Bebrapa gunting dan alat-alat operasi lainnya.
Suster itu menyuruhku untuk tidur diranjang itu. Aku mulai mendengar percakapan seorang dokter dan perawat. Mereka membicarakan takaran obat bius yang akan diberikan kepadaku.
Seorang perawat menyuntikkannya lewat selang infus yang ada di tangan sebelah kiriku. Beberapa saat setelah obat itu disuntikkan, aku merasa mengantuk. Aku merasakan kelopak mataku yang semakin lama semakin berat. Aku mencoba melawan rasa kantuk ini. Namun hanya sia-sia belaka. Dan setalah itu, aku sadari semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi suara yang terdengar. Seperti hanya aku sendiri yang ada di ruangan ini.
Semuanya gelap, sampai seorang perawat mulai menggoyang-goyangkan tubuhku. Perlahan namun pasti. Aku mencoba menggerakkan kelopak mataku. Remang-remang aku mulai melihat cahaya. Remang-remang aku mulai melihat seorang perawat membangunkanku.
Namun, aku masih merasa ngantuk. Jadi aku pejamkan lagi mataku. Kemudian aku teringat. Beberapa saat yang lalu aku berada di ruang operasi. Dan sekarang, ruangannya terlihat berbeda. Apa operasiku sudah selesai?
****
Minggu, 03 Desember 2009. Hari yang tidak akan aku lupakan. Pada hari itu aku mulai bisa bernapas lega. Lega karena operasiku berjalan dengan lancer. Akhirnya kini aku bebas. Bebas dari penderitaan selama empat tahun lebih. Bebas dari parasit di daguku. Aku bisa hidup bebas tanpa ada tumor lagi. Dan semoga, ini adalah operasi tumor pertama dan terakhirku.
Aku juga akan mengingat. Hari ini juga aku telah meninggalkan seorang temanku. Meninggalkan dia berjuang sendirian mengahadapi soal olimpiade yang menguras otak itu. Aku ini memang egois. Padahal operasiku bisa ditunda.
Ya walaupun jika aku menemaninya dan kami tetap saja tidak lolos. Itu terdengar lebih baik. Dari pada aku tidak menemaninya dan kami tidak lolos. Belakangan aku tau dari Kadek bahwa yang lolos dari babak penyisihan itu memang anak yang pandai-pandai.
Kadek, maafkan keegoisanku ini……